IMAN SEPERTI ANAK-ANAK



Belum pernahkah kamu baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian? (Matius 21:16)

Para pemimpin agama Yahudi berpandangan salah terhadap Yesus saat Dia mengendarai keledai masuk ke kota Yerusalem (Matius 21:15,16). Sebenarnya mereka tidak akan melakukan banyak kesalahan, jika mereka mau berusaha. Mereka memang tahu banyak tentang teologi, tetapi mereka sama sekali salah dalam mengenal siapa Yesus yang sebenarnya.

Anak-anaklah yang justru bersikap benar. Merekalah yang berseru di dalam Bait Allah, “Hosana bagi Anak Daud!” (ayat 15). Mereka percaya bahwa Pribadi yang mengendarai keledai betina tak bercacat itu adalah Anak Daud yang dijanjikan. Mereka menggenapi nubuat dalam Mazmur 8:3 dengan memuji Sang Anak Domba yang akan mati bagi dosa-dosa dunia. Anak-anaklah yang menyambut kehadiran-Nya dengan sukacita penuh meskipun mereka mungkin tidak benar-benar mengerti akan misi Yesus untuk menebus seluruh umat manusia.

Ada pelajaran penting tentang iman yang dapat kita petik dari anak-anak. Melalui keterbukaan dan kepolosan mereka, mudah bagi mereka untuk memercayai Pribadi yang dengan karakter murni-Nya telah menyentuh perasaan dalam hati mereka yang lembut.

Sebagai orang dewasa, kita mengira bahwa kita telah mengetahui banyak hal. Kita berusaha menjadi begitu dewasa, benar, dan religius. Namun, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah kita akan mengenali Sang Juruselamat apabila Dia berjalan di antara kita sembari mengadakan berbagai mukjizat yang pernah dilakukan-Nya pada masa yang silam.

Ya Tuhan, berilah kami iman seperti anak-anak

DIAMPUNI CUMA-CUMA


DIAMPUNI CUMA-CUMA

Apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain,
sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian
Kolose 3:13)

Apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian (Kolose 3:13. Penelitian sejumlah psikolog menunjukkan bahwa yang membuat orang bahagia bukanlah kekayaan berlimpah, melainkan persahabatan dan pengampunan. Marilyn Elisa mengomentari temuan ini dalam USA Today, "Orang yang paling bahagia dikelilingi saudara dan teman-teman, tidak punya masalah dengan tetangga, sibuk dengan kegiatan sehari-hari, dan yang terpenting, MUDAH MENGAMPUNI."

Christopher Peterson, psikolog dari Universitas Michigan mengatakan bahwa kemampuan untuk mengampuni orang lain merupakan karakter yang sangat berkaitan dengan kebahagiaan. Ia menyebutnya "ratu semua kebajikan, dan mungkin yang paling sulit dicapai".

Jiwa yang tidak mau mengampuni acap kali merupakan benteng emosi terakhir yang kita pasrahkan dalam kuasa Tuhan. Walaupun kita adalah orang kristiani, kita mungkin menyimpan kemarahan dan kepahitan, merasa bahwa setiap orang yang berbuat salah kepada kita harus menderita karena kejahatan mereka. Namun, apabila kita menyadari bahwa Tuhan telah banyak mengampuni kita, maka kita wajib meneruskan belas kasih tersebut kepada sesama.

Alkitab menyarankan kita untuk mengenakan "belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran, ... sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian" (Kolose 3:12,13).
Mengampuni adalah perintah TUHAN bagi kita dan merupakan bagian dari hidup yang penuh kasih, damai, syukur, dan pujian (ayat 14-16). Sebagaimana kita telah diampuni dengan cuma-cuma, maka hendaklah kita juga melakukannya kepada sesama.

INIKAH SAAT UNTUK BERDOA? Filipi 4:1-7



Tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada TUHAN dalam doa
dan permohonan dengan ucapan syukur
(Filipi 4:6)

Saat menghadapi cobaan, banyak orang sering memutuskan untuk menjadikan doa sebagai usaha terakhir. Saya mengenal seorang lelaki yang sedang berjuang mati-matian melawan kanser. Ketika orang-orang melihat kanker itu berangsur-angsur memperburuk tubuh dan gaya hidupnya, seseorang berkata, "Ya, mereka telah mencoba segalanya. Saya kira inilah saatnya untuk mulai berdoa."

Seorang insan lain sedang menghadapi masa-masa yang sangat sulit dalam pekerjaan. Itu merupakan krisis besar yang sangat berpengaruh terhadap dirinya dan masa depan perusahaannya. Ia tidak mampu menyelesaikannya. Akhirnya ia berkata, "Saya telah mencoba segala yang saya ketahui untuk keluar dari situasi ini, tetapi tak ada yang berhasil. Ini saatnya untuk mulai berdoa."

Dalam kedua contoh di atas, doa telah dipandang sebagai jalan keluar terakhir untuk mengatasi masalah. Hanya setelah pilihan-pilihan lain tersisihkan, maka orang mengambil keputusan untuk berdoa. Doa akhirnya menjadi usaha terakhir ketika sudah tidak ada jalan lain.

Doa seharusnya merupakan tindakan pertama yang kita lakukan, bukannya tempat pelarian terakhir. Tuhan menjawab doa, dan Dia ingin agar kita senantiasa datang kepada-Nya dengan membawa seluruh kebutuhan kita (1Tesalonika 5:17). Alkitab mengatakan kepada kita "janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada TUHAN dalam doa" (Filipi 4:6). Jadi, jangan menunggu lagi. Setiap waktu adalah saat yang tepat untuk berdoa.

DOA HENDAKNYA MERUPAKAN LANGKAH AWAL
BUKANNYA TEMPAT PELARIAN TERAKHIR KITA

Popular Posts